SMONG: Pengetahuan Asli dan Lokal Masyarakat Pulau Simeulue
Hasil Survey Tim Potensi Ekonomi Kepulauan Terluar Pulau Simeulue 2015
Indonesia sebagai negara yang kerap dilanda bencana alam memerlukan sebuah solusi penanganan yang menyeluruh untuk setiap bencana yang melanda. Gempa bumi dan tsunami merupakan salah satu bencana alam yang kerap melanda Kepulauan Indonesia terutama daerah yang terletak pada zona aktif patahan bumi seperti di sepanjang Pantai Selatan Pulau Sumatera dan Jawa dan kawasan Indonesia Timur (Maluku dan Papua). Beberapa kelompok masyarakat di kawasan ini mencatat dengan baik kejadian alam yang kerap melanda kawasan mereka dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dilakukan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dengan bertutur (bercerita secara oral) kepada anak cucunya tentang kejadian-kejadian yang pernah terjadi di masa lalu. Hal ini terbukti cukup efektif untuk diterapkan dalam kerangka mitigasi kebencanaan di kepulauan kecil seperti yang terjadi di Pulau Simeulue, Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD), di mana pengetahun asli dan lokal penduduk Pulau Simeulue yang dikenal dengan “smong” telah menyelamatkan banyak jiwa dari kebinasaan.
Pulau Simeuluu merupakan sebuah pulau kecil di tengah lautan Samudera Hindia yang terletak di sebelah barat daratan Provinsi Nangroe Aceh Darusalam (NAD). Pulau dengan luas 2310 km2 dan berpenduduk 82100 sudah sangat familiar dengan kejadian gempa bumi dan bencana tsunami. Sebagian besar masyarakat di Pulau Simeulue mungkin tidak mengenal kata”tsunami” tetapi mereka mengenal kata atau istilah lain dari tsunami yang dikenal sebagai “SMONG”. Smong diperkirakan lahir pada tahun 1907 di mana gempa dan tsunami yang cukup besar melanda Pulau Simeulue pada hari Jumat 4 Januari 1907. Para orang tua di Pulau Simeulue bahkan menyebutnya dengan sebutan “Smong-07” atau kejadian Smong pada tahun ke-7 (Yogaswara dan Yulianto, 2011). Banyaknya korban jiwa akibat gelombang tsunami saat itu meninggalkan ingatan yang cukup mendalam di setiap warga pulau hingga ke keturunanya. Masyarakat di Pulau Simeulue senantiasa mengingatkan anak cucunya akan bahaya yang mengancam dan bagaimana cara terhindar dari bahaya tersebut. Dengan pengetahuan smong, alhasil kejadian gempa dan tsunami dahsyat yang terjadi pada tahun 2004 dan juga melanda Pulau Simeulue “hanya” menelan korban jiwa kurang dari 10 orang. Padahal dibanding Banda Aceh dan daerah lainnya di Pulau Sumetra, Pulau Simeulue berjarak sangat dekat ke pusat gempa.
Pasca kejadian gempa dan tsunami 2004, Pemerintah Indonesia dibantu oleh beberapa negara asing berlomba uantuk membangun sistem peringatan dini dan vertical evacuation building (bangunan evakuasi vertikal) guna mengurangi resiko bencana gempa dan tsunami di masa yang akan datang. Jutaan dolar sudah digelontorkan sejak kampanye mitigasi bencana tsunami diluncurkan (misal GITEWS pada tahun 2005-2011) dengan menanam peralatan mahal berupa ocean mooring di lautan lepas Samudera Hindia dan infrastruktur lainnya di daratan sebagai pusat kontrol. Pembangunan vertical evacuation building yang berfungsi sebagai tempat orang melarikan diri ke tempat-tempat yang dianggap aman juga gencar digalakan di berbagai kota di kawasan pesisir dan pulau –pulau kecil. Di Banda Aceh dan Kota Padang misalnya sudah puluhan bangunan evakuasi vertikal yang telah dibangun baik itu dengan biaya dari APBN maupun bantuan asing.
Pembangunn infrastruktur tersebut tentu tidaklah salah dan memang dibutuhkan oleh Indonesia sebagai negara dengan sumber bencana alam yang cukup tinggi dan kerap “berbagi” bencana dengan negara-negara lain yang bertetangga dan berbatasan dengan Samudera Hindia. Namun, investasi yang begitu mahal dan memerlukan perawatan yang tidak sedikit tentu membutuhkan alternatif lain untuk lokasi – lokasi di mana sumberdaya modal dan infrastruktur yang sangat minim. Pendekatan “soft measures” melalui pendekatan sosial budaya untuk mitigasi bencana jelas diperlukan untuk wilayah-wilayah dengan kategori tersebut. Pendekatan sosial budaya dengan meningkatkan pengetahuan dan kewaspadaan akan bencana dan kondisi alam di sekitar menjadi sangat penting dan terbukti menjadi “pemenang” saat gempa dan tsunami melanda Pulau Simeulue di tahun 2004. Model mitigasi bencana yang telah diterapkan secara tradisional di Pulau Simeulue dengan “smong”-nya tidak hanya dapat diterapkan di daerah lainnya yang memiliki keserupaan sosial budaya dengan Pulau Simeulu, tetapi juga di daerah – daerah yang sudah maju seperti kawasan perkotaan yang rawan kan bencana gempa dan tsunami.
Smong awalnya hanya dikenal di masyarakat Simeulue dan beberapa gelilntir orang di daratan Sumatera. Bahkan saat gempa dan tsunami terjadi, informasi smong sam-sekali tidak terdengar. Beberapa hari setelah gempa dan tsunami menghancurkan Pesisir Aceh dan beberapa negara tetangga, sempat ada angapan bahwa masyarakat dan perkampungan di Pulau Simeulue binasa dan hancur mengingat kawasan ini lebih dekat dengan sumber tsunami. Sulitnya otoritas untuk berkomunikasi dengan Pulau Simeulue semakin menguatkan anggapan tersebut. Namun, beberapa minggu kemudian anggapan pesimis semua pihak terpatahkan dengan kenyataan bahwa ternyata sebagain besar masyarakat Pulau Simeulue ternyata selamat dari bencana gempa dan tsunami 2004. Sulitnya masyarakat pulau dihubungi, karena sebagian besar dari mereka berdiam (mengungsi) di perbukitan lebih dari seminggu sambil menunggu kondisi laut benar-benar aman. Selain itu, kerusakan infrastruktur komunikasi di pulau cukup parah sehingga alat komunikasi elektronik nyaris tidak dapat digunakan. Kepergian masyarakat pulau meninggalkan kampugnya selama lebih dari seminggu ke perbukitan jelas karena mereka sangat mengingat “smong”. Saat gempa terjadi dan melihat tanda-tanda alam lainnya sepeti surutnya air laut, masyarakat pulau terutama yang berdomisili di pesisir langsung bergegas mengemas kebutuhan pokok untuk dibawa ke pengungsian di perbukitan. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat pulau ini merupakan hasil dari cerita tutur dari smong yang senantiasa disampaikan oleh orang tua dan nenek moyang mereka ke anak cucu dan turunannya.
Informasi Smong yang disampaikan secara oral dengan beragam cara penyampaian seperti nyanyian sebelum tidur telah menjadi alat yang ampuh dalam menghindarkan masyarakat Pulau Simeulue dari kebinasaan bencana tsunami 2004. Nyanyian (Nandong) Smong ini tidak dikenal oleh semua warga, namun hampir seluruh warga pulau mengetahui tentang pesan pusaka yang ada pada Smong. Beberapa anggota masyarakat pulau mengaku mendengar tentang Smong dari orang tua mereka saat bersantai mengobrol dengan keluarga. Sebagian lagi mengaku mereka mendengar tentang Smong dengan cara diceritakan oleh orang tua mereka menjelang tidur. Sebagian lagi mengaku informasi Smong tersampaikan begitu saja di saat – saat yang tidak terduga seperti saat mengobrol di warung kopi, saat menonton televsi dan aktifitas – aktifitas lainnya. Trauma yang begitu mendalam akan kejadian gempa dan tsunami dahsyat pada tahun 1907 menjadikan cerita smong tetap hidup di masyarakat Pulau Simeulue. Smong bahkan tetap diingat oleh warga pulau yang tingggal di perantauan. Saat kejadian gempa dan tsunami 2004, warga Pulau Simeulu yang tinggal di Banda Aceh berteriak – teriak “smong” dan berlari ke bukit menjauhi pantai. Sementara itu, sebagian besar warga Banda Aceh dalam kebingungan pasca gempa yang melanda bahkan banyak diantaranya yang malah pergi ke pantai karena melihat air laut surut dan banyaknya ikan yang mati di pantai karena airnya sudah kering.
Warga asli Simeulue di Banda Aceh dipercaya selamat dari bencana tsunami 2004 sementara sebagian besar warga Aceh yang tidak mengenal Smong menjadi korban keganasan gelombang tsunami yang datang setengah jam pasca gempa besar di minggu pagi, 26 Desember 2004. Kehebatan Smong dalam menyelamatkan warga dari bahaya gempa dan tsunami telah menginsipirasi banyak pihak. Contohnya, saat ini Smong bahkan telah diabadikan dalam sebuah film dengan judul “Nyanyian 1907” karya senias muda aceh Azhari (Tempo, 2012). Smong juga telah diusung oleh beberapa pihak untuk dijadikan sebagai tambahan kosakata baru sebagai pengganti kata tsunami yang merupkan kosakata Bahasa Jepang (Tribunnews, 2013).
Selain cerita tentang Smong oleh orang tua dan nenek moyang Pulau Simeulue, masyarakat Pulau Simeulu juga memeiliki “alat” yang sangat penting dalam mengingatkan mereka terhadap kejadian gempa dan tsunami sebelumnya. Pulau Simeulue secara alami merupakan pulau yang terbentuk akibat aktifitas geologi di mana Lempeng Samudera (Indo-australia) yang menghunjam ke Lempeng Benua (Eurasia). Wajar jika kawasan ini secara rutin mengalami aktifitas gempa bumi dari skala kecil hingga ke sekala merusak. Bukti – bukti (sisa - sisa) akibat aktifitas geologi di kawasan ini bisa terlihat jelas di hampir setiap sudut dari Pulau Simeulue. Kejadian gempa dan tsunami pada tahun 2004 telah menciptakan ratusan pulau baru di sekelililng Pulau Simeulue. Selain itu, karang- karang banyak yang terangkat di beberapa bagian pulau sementara di tempat lainnya permukaan tanah justru tenggelam terendam air laut. Tanda – tanda alam tersebut yang dapat disaksikan langsung oleh masyarakat pulau menjadikan pengingat abadi yang senantiasa melekat di pikiran setiap warga pulau. Kepercayaan warga akan Smong menjadi lebih kuat dengan kehadiran rona alam yang terbentuk akibat kejadian gempa dan tsunami.
Tempat – tempat keramat juga berperan penting dalam menciptakan keberlangsungan cerita Smong di kalangan masyarakat Simeulue. Tempat keramat di Desa Kuta Padang misalnya merupakan sebuah Kompleks Pemakaman di sebuah bukit di mana masyarakat percaya bukit itu merupakan tempat terakhir yang menyelamatkan nenek moyang mereka dari bencana Smong pada tahun ke-7 (1907). Masyarakat percaya bukit itu tetap kering di mana di sekelilingnya telah terendam oleh air laut yang naik hingga ke desa mereka. Keberadaan bukit keramat ini telah membantu mensyarakat Desa Kuta Padang ingat akan kejadian gempa dan tsunami yang terjadi di tahun ke-7. Kejadian gempa dan tsunami di tahun 2004 juga telah melahirkan cerita keramat di Desa Latak Ayah, Kecamatan Simeulue Cut. Keberadaan makam Tengku Di Udjung yang terletak tepat di pinggir pantai selamat dari kehancuran tsunami sementara desa mereka hancur berantakan. Tengku Di Udjung yang merupakan penyebar Agama Islam di Pulau Simeulue dimakamkan di pinggir pantai di mana saat ini sebagian besar daerah di sekelilingnya telah terangkat akibat aktifitas gempa pada tahun 2004. Cerita keramat selamatnya makam Tengku Di Udjung dari amukan tsunami 2004 telah membantu melestarikan cerita Smong di masyaralat Pulau Simeulue.
Pengetahuan asli dan lokal Smong masyarakat Pulau Simeulue merupakan salah satu bukti pentingnya mempelajari sejarah dan menghormati budaya lokal. Arus modernisasi dan teknologi informasi yang gencar melanda masyarakat saat ini mungkin telah melupakan peran budaya lokal yang dianggap kolot dan ketinggalan zaman. Dengan pemahaman yang mendalam akan filosofi budaya lokal serta dipadu dengan ilmu pengetahun dan teknologi terkini niscaya upaya mitigasi bencana alam yang kerap melanda kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia dapat dilakukan secara optimal. Smong hanyalah salah satu pengetahuan lokal dan asli yang dimiliki oleh Masyarakat Pulau Simuelue sehingga masyarakat Pulau Simeulue senantias waspada akan bencana yang sering melanda kampung halaman mereka. Pengetahuan asli dan lokal lainnya juga dimiliki oleh masyarakat lain seperti arsitektur tahan gempa rumah-rumah masyarakat Pulau Nias dan legenda “Teteu” di Kepulauan Mentawai yang serupa dengan Smong (UNISDR, 2008). Mari kita lestarikan pengetahuan asli dan lokal yang ada di daerah kita masing-masing.
Ucapan Terimakasih
Terimakasih yang sebesar-besarnya kami ucapkan kepada seluruh masyarakat Pulau Simeulue yang telah bersedia diwawancara terutama warga di Kecamatan Simeulue Timur dan Kecamatan Simeulue Cut (Desa Latak Ayah dan desa Kuta Padang)
Daftar Pustaka
Herry Yogaswara and Eko Yulianto, 2006. SMONG, Pengetahuan Lokal Pulau Simeulue: Sejarah dan Kesinambungannya. Jakarta: UNESCO and LIPI.
UNISDR 2008 - Indigenous Knowledge for Disaster Risk Reduction: Good Practices and Lessons Learned from Experiences in the Asia-Pacific Region. Global Network 2009, Bangkok, July 2008
Tempo (2012): Nyanyian 1907, Film tentang Warga Simeulue, link: http://seleb.tempo.co/read/news/2012/12/27/111450740/nyanyian-1907-film-tentang-warga-simeulue, terakhir diakses pada 21 Oktober 2015.
Tribunnews (2013). ‘Smong’ Disusulkan Jadi Kosa Kata Dunia, Link: http://aceh.tribunnews.com/2013/12/30/smong-disusulkan-jadi-kosa-kata-dunia, diakses pada 21 Oktober 2015
Penulis : Semeidi Husrin
Dilihat: 7969