Peneliti LRSDKP Berbicara tentang Fenomena Kematian Ikan di Ternate

Kategori: Berita 2020 Diterbitkan: Jumat, 28 Februari 2020 Ditulis oleh Ulung Jantama Wisha

4103bbf3 7e59 47b9 bc13 851399c0478d

Foto : Dokumentasi KKP

JAKARTA (27/2) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balai Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Ternate langsung bergerak cepat pasca adanya informasi kematian ratusan ikan dan perubahan air laut menjadi kecokelatan di perairan Maluku Utara. Tim BKIPM Ternate pun sudah melakukan pengujian sampel ikan dan air laut.

Kepala BKIPM Ternate Abdul Kadir mengungkapkan, sampel yang diteliti meliputi delapan ekor jenis ikan dasar (ikan yang hidup di dasar laut) dan satu gurita yang diserahkan oleh petugas PSDKP-KKP dan Dinas Kealutan Perikanan Kota Ternate. Hasil pembedahan, ditemukan pendarahan di sepanjang tulang ikan, sedangkan tentakel gurita dalam kondisi tidak utuh.

Dalam pengujian selanjutnya menggunakan rapid testkit plumbum dan rapit testkit merkuri, menunjukkan hasil negatif. Namun pengujian untuk mendeteksi adanya hama, parasit, maupun bakteri tidak bisa dilakukan karena ikan sudah membusuk saat diantar ke BKIPM Ternate.

"Ikan dalam kondisi membusuk, parasit juga sudah mati, hanya bakteri pembusukan yang lebih dominan," ungkap Abdul Kadir di Ternate, Kamis (27/2/2020).

Mengenai kondisi air laut yang berubah kecokelatan, BKIPM Ternate sedang melakukan identifikasi plankton/algae. Ini untuk mengetahui benar tidaknya terjadi blooming algae yang diduga menyebabkan kematian ikan. Namun dia memastikan, sampel air laut yang diperoleh BKIPM dalam kondisi jernih tidak berwarna kecokelatan.

Sebagai informasi, penemuan ikan mati di sekitar perairan Kota Ternate pertama kali dikabarkan oleh sekelompok penyelam di sekitar perairan Kota Ternate, tepatnya di pantai Falajawa. Abdul mengaku, belum mendapat informasi berapa jumlah pasti ikan yang mati secara keseluruhan.

Untuk mengetahui kondisi terkini di perairan Kota Ternate, pihaknya kembali mengirim tim ke sekitar lokasi penemuan ikan mati. "Kondisi lapangan terbaru, tidak ditemukan adanya kematian ikan baru dan kondisi perairan normal" pungkas Abdul.

Sementara itu, Peneliti Bidang Oseanografi Loka Riset Sumberdaya dan Kerentanan Pesisir (LRSDKP) - Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Ulung Jantama Wisha, menyampaikan bahwa informasi terkait kematian masal ikan di Pantai Falajawa Ternate butuh penelitian mendalam.

“Beberapa sumber berita menyebutkan bahwa ada potensi blooming algae dan peningkatan suhu, namun tidak ada data hasil pengukurannya, sehingga semua info tersebut masih berupa dugaan. Informasi dari penyelam lokal di mana beberap jenis hewan laut mati hingga kedalaman 12 meter juga masih bersifat kualitatif,” tuturnya.

Namun jika benar adanya, lanjut Ulung, dapat diindikasikan bahwa terdapat pengaruh dari interaksi laut atmosfer yang mengontrol sebaran parameter fisis perairan sehingga berdampak terhadap perubahan kondisi lingkungan drastis dan memicu degradasi lingkungan dan potensi kematian biota.

“Jika dilihat melalui pemantauan satelit Aqua MODIS sekitar tanggal 25-26 Februari 2020, suhu di perairan Maluku Utara (sekitar pulau Halmahera dan Ternate) berkisar antara 22-30 derajat celcius, kisaran suhu tersebut termasuk normal untuk biota perairan berdasarkan baku mutu perairan KEPMENLH NO. 51 Tahun 2004. Pada Pantai Falajawa, suhu perairan cukup rendah yakni berkisar antara 19-22 derajat celcius yang menandakan potensi upwelling, di mana suhu rendah mendominasi permukaan karena adanya kekosongan massa air di permukaan. Dalam prosesnya mekanisme ini membawa zat hara dari dasar ke permukaan. Pernyataan tersebut juga didukung dengan data klorofil-a yang cukup tinggi di bagian utara hingga tengah Pulau Halmahera berkisar antara 0-2.58 mg/m3 menandakan potensi upwelling dan ledakan algae mungkin saja terjadi,” terangnya.

Zat hara yang terbawa ke permukaan saat terjadi upwelling, dikatakan Ulung, dapat mendukung proses fotosintesis menjadi maksimal dan dapat menguntungkan beberapa biota autotrof untuk melakukan reproduksi lebih cepat, sehingga terjadilah ledakan (blooming algae). Namun ada beberapa jenis algae tertentu yang secara umum bersifat toxic (beracun) yang sensitif terhadap peningkatan zat hara di perairan. Jika itu terjadi, maka dapat dipastikan penyebab kematian masal ikan di perairan Maluku Utara memang pengaruh dari ledakan algae.

“Namun pernyataan ini dapat disimpulkan dengan tambahan data berupa konsentrasi zat hara (nitrat, phosphate dan turunannya), suhu dan oksigen serta logam berat pada pencernaan ikan yang mati. Jika dilihat lokasi Pantai Falajawa terletak di pusat kota Ternate di mana aktivitas antropogenic memiliki potensi dalam menyumbang polutan ke perairan, salah satunya limbah rumah tangga, industri maupun cemaran logam berat,” papar Ulung.

Menurut dia, fenomena tersebut tidak terkait dengan fenomena iklim dan kemungkinan tidak akan terjadi berulang, karena sejatinya kematian masal ikan dipengaruhi oleh banyak faktor.

"Banyak parameter yang perlu dipastikan untuk menyimpulkan fenomena ini dan kemungkinan kejadian musiman di masa yang akan datang," pungkasnya.

 

Pin It
Dilihat: 1369